Di era digital yang serba cepat, satu kesalahan bisa membuat seseorang ‘dihapus’ dari dunia maya dalam hitungan jam. Fenomena cancel culture semakin marak terjadi, di mana individu atau kelompok yang dianggap melakukan kesalahan moral, sosial, atau politik langsung dihujani serangan oleh netizen. Tapi pertanyaannya, apakah cancel culture benar-benar alat keadilan sosial, atau justru hanya menjadi ajang perundungan massal?
Netizen Jadi Hakim, Jaksa, dan Eksekutor
Konsep cancel culture muncul sebagai bentuk hukuman sosial bagi mereka yang dianggap melanggar norma. Tanpa banyak pertimbangan, netizen akan mengulik kembali jejak digital seseorang, dari cuitan jadul hingga komentar lawas, lalu menjadikannya bukti sahih untuk ‘menghakimi’. Tidak peduli apakah kesalahan itu terjadi 10 tahun lalu atau kemarin sore, pokoknya kalau sudah viral, tamat sudah.
Sejumlah selebritas, influencer, hingga tokoh politik kerap menjadi korban cancel culture. Misalnya, seorang aktor yang tersandung skandal rasisme atau seorang musisi yang ketahuan berkata kasar di masa lalu, sering kali berujung pada pemboikotan besar-besaran. Bahkan, brand yang bekerja sama dengan mereka ikut-ikutan buru-buru putus kontrak sebelum kena imbasnya.
Dampak: Dari Minta Maaf Sampai Karier Hancur
Cancel culture tidak hanya berdampak pada citra seseorang, tetapi juga bisa menghancurkan kehidupan mereka. Ada yang cukup dengan meminta maaf dan kembali diterima publik, tetapi tidak sedikit yang harus kehilangan pekerjaan, reputasi, hingga mengalami tekanan mental. Beberapa korban cancel culture bahkan mengaku mengalami depresi akibat hujatan yang tak berkesudahan. Sebagai contoh, seorang penulis ternama mendadak viral karena cuitan lamanya yang dianggap kontroversial. Akibatnya, ia kehilangan kontrak buku dan dihujani kritik selama berminggu-minggu. Meskipun sudah meminta maaf dan mengklarifikasi, publik tetap tidak mudah melupakan, karena jejak digital memang tidak pernah benar-benar hilang.
Cancel Culture vs. Akuntabilitas: Mana yang Lebih Baik?
Meski dianggap sebagai bentuk penegakan keadilan sosial, cancel culture sering kali tidak memberikan ruang bagi individu untuk belajar dan memperbaiki kesalahan mereka. Tanpa adanya kesempatan klarifikasi atau rehabilitasi, cancel culture lebih mirip dengan cyberbullying daripada mekanisme keadilan. Alih-alih langsung mencancel seseorang, mungkin kita bisa memilih cara yang lebih bijak, seperti memberikan edukasi dan dorongan untuk berubah. Memberikan ruang untuk klarifikasi dan perbaikan bisa menjadi solusi yang lebih baik dibanding sekadar
Masa usia 20-an sering dianggap sebagai masa yang penuh semangat dan harapan. Na...
Lihat Selengkapnya →Pada 7 Maret 2025, Pengadilan Distrik Pusat Seoul mengeluarkan perintah yang mem...
Lihat Selengkapnya →Pernah nggak sih, kamu beli baju baru lalu dipakai sekali buat OOTD, terus langs...
Lihat Selengkapnya →Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki banyak sekali...
Lihat Selengkapnya →Pada 25 Maret 2025, YouTuber kuliner Bobon Santoso hadir sebagai tamu di podcast...
Lihat Selengkapnya →Masa depan pendidikan di era digital menjanjikan transformasi yang signifikan da...
Lihat Selengkapnya →Tidur adalah salah satu kebutuhan dasar manusia, tetapi sering kali kita mengaba...
Lihat Selengkapnya →