Di balik megahnya budaya Indonesia yang sering dibanggakan, tersembunyi satu warisan kelam yang masih bercokol kuat sampai sekarang—patriarki. Bukan sekadar sisa masa lalu, tapi sistem yang tumbuh bareng norma, mengakar lewat adat, dan perlahan membentuk cara kita memandang perempuan.
Akibatnya? Perempuan masih sering didorong ke posisi kedua. Bukan karena mereka nggak mampu, tapi karena dari awal ruang geraknya udah dibatasi. Parahnya lagi, semua itu sering dianggap biasa aja, kayak bagian “alami” dari hidup sehari-hari.
Jadi, kenapa budaya bisa segitu kuatnya mengatur peran perempuan?
Yuk, kita kupas bareng-bareng.
Menurut data dari BPS (2023), hanya sekitar 35% perempuan yang menduduki posisi manajerial di Indonesia. Artinya, lebih dari 60% perempuan masih tertahan di level menengah—atau bahkan nggak pernah dapat kesempatan—karena dianggap “kurang cocok” buat jadi pemimpin.
Ini bukan sekadar angka statistik, tapi realita yang kita hadapi sehari-hari. Narasi seperti “perempuan harus lembut,” “laki-laki kepala keluarga,” atau “jangan terlalu ambisius kalau kamu cewek,” jadi contoh nyata bagaimana patriarki menyelinap lewat budaya.
Yang lebih bikin geleng-geleng kepala, masih banyak yang nganggep itu semua hal biasa.
Di sisi lain, perempuan muda sekarang makin vokal, makin aktif, dan makin pede buat ngejar mimpi. Tapi faktanya? Perjalanan mereka tetap aja penuh tantangan. Budaya yang masih kental nilai patriarki sering kali jadi “pagar tak terlihat” yang membatasi langkah.
Contohnya? Perempuan yang ambil keputusan besar dibilang terlalu galak. Yang belum menikah dianggap belum lengkap. Yang jadi pemimpin malah dicurigai, bukannya dihargai. Padahal, mereka cuma berani tampil dan ambil peran.
Karena sebenarnya, emansipasi bukan soal siapa lebih hebat, tapi tentang membuka ruang yang setara. Supaya semua orang—tanpa pandang gender—punya kesempatan buat berkembang tanpa dibayangi nilai-nilai lama yang udah nggak relevan.
Kita tahu kok, budaya itu sifatnya dinamis. Tapi sayangnya, masih banyak yang bersikukuh mempertahankan sisi-sisi yang justru bikin kita stuck di tempat.
Tapi tenang—Gen Z bukan generasi yang cuma duduk diam. Kita tumbuh di era digital, terbiasa mikir
Pada Selasa, 17 Juni 2025, Gunung Lewotobi “Laki-Laki” di Kabupaten...
Lihat Selengkapnya →Di Amerika, terdapat sebuah komunitas kulit hitam tepatnya di wilayah Greenwood,...
Lihat Selengkapnya →Sebagai makhluk sosial, manusia dalam kehidupannya selalu membutuhkan orang lain...
Lihat Selengkapnya →Pernah nggak sih kamu ketemu sama orang yang kalau makan di mana aja, minumnya p...
Lihat Selengkapnya →Para fans Demon Slayer: Kimetsu no Yaiba bersuka cita karena trailer terbaru unt...
Lihat Selengkapnya →Mengenal Suku Baduy sebagai sekelompok masyarakat adat Sunda yang menolak modern...
Lihat Selengkapnya →Musim liburan adalah waktu yang tepat untuk beristirahat sejenak dari rutinitas...
Lihat Selengkapnya →